Jumat, 26 September 2014

praktikum pengukuran parameter kualitas air



I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan lingkungan perairan merupakan salah satu usaha manusia untuk tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya perairan. Sumberdaya perairan yang utama adalah air. Air sebagai habitat utama bagi organisme akuatik. Air yang terdapat di laut, sungai, rawa, kali, kolam dan danau bahkan sistem terkontrol seperti tambak pun memerlukan pengelolaan sesuai dengan peruntukkannya. Pengelolaan ini bertujuan agar air yang ada sebagai sumberdaya utama di lingkungan tersebut tetap terjaga kualitasnya dan dimanfaatkan sesuai dengan fungsi masing-masing perairan tersebut. Kolam adalah salah satu bagian dari lingkungan perairan yang terkontrol. Sistem pengontrolan ini menyebabkan semua organisme yang bermanfaat selalu dijaga keberadaannya. Pertumbuhan organisme yang merugikan dapat dicegah melalui penambahan zat kimia ataupun pengontrolan kualitas air. Di dalam sistem kolam terjadi berbagai proses-proses baik fisika, kimia, biologi dan ekologi (Pebriani, 2009).
Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas yang diinginkan sesuai fungsi peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisis alamiahnya. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara (Vedca, 2009).  Ketersediaan makanan dalam sebuah rantai makanan menjadi sangat penting bagi kelompok yang ada di atasnya. Keberadaan makanan dan terciptanya rantai makanan yang baik menjadi hal yang sangat vital. Kondisi yang baik tersebut sangat dibutuhkan oleh organisme hidup didalamnya. Kondisi lingkungan yang baik didukung oleh berbagai faktor seperti fisika-kimia dan biologi air serta faktor-faktor eksternal yang sangat mempengaruhinya (Nana dan Putra, 2011).  Dalam melakukan budidaya perlu diperhatikan kualitas air dapat menunjang kehidupan dari organisme-organisme di perairan. Sehingga perlu untuk dilakukan pengukuran parameter-parameter yang bersangkutan.
       Berdasarkan  pernyataan di atas, maka dilakukannya praktek manajemen kualitas air ini agar dapat mengetahui fluktuasi pada perubahan suhu, kekeruhan, DO, serta pH pada perairan. Sehingga apa yang di inginkan dan di butuhkan pada kegiatan budidaya dapat berjalan dengan baik serta mendapatkan hasil yang maksimal.
1.2    Tujuan  dan Manfaat
1.      Untuk mengetahui perubahan suhu dan pH selama 24 jam.
2.      Untuk mengetahui Kecerahan, Kesadahan, DO, dan TDS pada kolam air tawar di FPIK UHO
3.      Untuk mengetahui kapasitas buffer dan pengaruh penambahan urea, tawas, kapur serta kombinasinya terahadap perubahan nilai pH beberapa jenis air yang berbeda.
4.      Untuk mengetahui evektivitas metode pemberian kapur dan pencucian berulang serta membandingkan kedua metode tersebut sebagai cara untuk mengatasi pH rendah pada perairan yang mengandung pyrite.
          Adapun manfaat praktikum ini adalah kita dapat mengetahui tingkat kecerahan maupun kesadahan serta perubahan parameter seperti Suhu, pH, DO dan TDS, juga dapat melakukan pengelolaan kualitas air yang terdapat pada kolam air tawar di FPIK UHO sehingga dapat kita aplikasikan pada skala budidaya.

   
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1         Suhu 
Suhu sangat mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan biota air, karena itu penyebaran organisme baik di lautan maupun diperairan air tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, maka dapat menekan kehidupan hewan budidayabahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim (drastis). Suhu air dapat mempengaruhi kehidupan biota air secara tidak langsung, yaitu melalui pengaruh kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah daya larut oksigen di dalam air, begitu pula sebaliknya. Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28oC-32oC (Kordi 2007).
2.2          pH
pH singkatan dari puissance negatif de H, yaitu logaritma dari kecepatan ion-ion H (hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol per liter) pada suhu tertentu atau dapat ditulis : pH= - log (H)+. Nilai pH pada setiap perairan alami berkisar antara 4-9, walaupun demikian pada daerah hutan mangrove, pH dapat mencapai nilai yang sangat rendah karena kandungan asam sulfat pada tanah dasar tersebut tinggi. pH air dapat mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah akan membunuh hewan budidaya (Kordi, 2007).

2.3    Kecerahan  
      Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air dan dinyatakan dalam %, dari beberapa panjang gelombang  di daerah spektrm yang terlihat cahaya yang melelui lapisan sekitar 1 meter, jatuh agak lurus pada permukaan air. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai kedasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai di mana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampaui jernih baik untuk kehidupan ikan dan udang budidaya (Kordi, 2007).
2.4    Kesadahan
Kesadahan atau kekeruhan (hardness) air berada dengan keasaman air, sekalipun keduanya erat kaitannya, namun keduanya dapat dibedakan dengan mudah. Air asam biasanya menunjukkan reaksi lunak, sedangkan air sadah biasanya keras. Oleh karena itu, kesadahan air biasa disebut kekerasan air (hardness). Kesadahan air disebabkan oleh banyaknya mineral dalam air yang berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan molekul. Elemen terbesar (major elemen) yang terkandung dalam air adalah kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), natrium (Na+) dan kalium (K+) (Kordi, 2007).
2.5    DO 
           Oksigen terlarut (Dissolved Oxygent=DO) mungkin merupakan variabel yang paling kritis dalam budidaya ikan, oleh karena itu budidayawan ikan seharusnya akrab dengan dinamika konsentrasi oksigen terlarut dalam kolam. Kelarutan oksigen terlarut akan menurunkan atau bertambah kecil apabila tekanan atmosfir (tekanan barometer) turun. Kelarutan oksigen dalam air juga bertambah kecil apabila salinitas bertambah besar. Pada suhu-suhu antara 20 sampai 35oC, kelarutan oksigen bertambah kecil kira-kira sekitar 0,008 mg/l untuk tiap kenaikan salinitas sebesar 210 mg/l (Idris, 2014).
           Konsentrasi oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian. Pada waktu fajar, konsenstrasi oksigen terlarut rendah dan semakin tinggi pada siang hari yang disebabkan oleh fotosintesis, sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari (Kordi, 2007).
2.6     TDS
Total Dissolved Solid atau TDS merupakan parameter dari jumlah material yang  dilarutkan dalam air.  Material ini dapat mencakup Karbonat, Bikarbonat, Klorida, Sulfat, Fosfat, Nitrat, Kalsium, Magnesium, Natrium, ion-ion organik, dll.  TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena mewakili jumlah ion di dalam air. 
Ada dua macam metode yang digunakan untuk mengukur TDS, yaitu :
1.    Gravimetri
Metode pengukuran TDS yang paling akurat dibandingkan dengan metoda konduktivitas listrik dan melibatkan penguapan cairan pelarut untuk meninggalkan residu yang kemudian dapat ditimbang langsung dengan menggunakan neraca digital.  Untuk menentukan TDS yang terkandung di dalam air, Halcrow (1999) menggunakan Persamaan 1
TDS= (B - A) 1000
V
dengan TDS (Total Dissolved Solid) merupakan jumlah total zat terlarut dengan satuan mg/L, V adalah volume sampel dengan satuan mL, A adalah massa awal kertas saring dengan satuan mg, dan B adalah massa akhir dari kertas saring dengan satuan mg.
2.    Konduktivitas Listrik
Konduktivitas listrik air secara langsung berhubungan dengan konsentrasi padatan terlarut yang terionisasi dalam air. Ion dari konsentrasi padatan terlarut dalam air menciptakan kemampuan pada air untuk menghasilkan arus listrik, yang dapat diukur dengan menggunakan konduktivitimeter konvensional atau TDS meter (Yuliandini, 2013).
2.7    Pegelolaan Kualitas Air            
 Lingkungan yang bersih merupakan bagian dari  pelengkap kenyamanan hidup dan menjaganya merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu kebersihan sumber daya air. Sejauh ini sebagian besar perairan terkontaminasi limbah seiring dengan perkembangan industri,  perkembangan kota, dan aktifitas manusia. Jika hal ini terus terjadi maka besar kemungkinan pengendapan dan kekeruhan perairan meningkat dan menurunkan kualitasnya. Banyak faktor yang mempengaruhi kekeruhan air, seperti pembuangan hasil aktifitas masyarakat. Selain itu, perbedaan musim antara kemarau dan penghujan juga dapat menyebabkan tingkat kekeruhan air yang berbeda (Ayundyahrini, 2013).
Dalam hal pengelolaan kualitas air pemberian pupuk (Urea), tawas serta pengapuran dapat memberi nilai positif pada kualitas air tersebut. Pemupukan saat persiapan kolam atau tambak diperlukan sebagai sumber nutrien untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sangat dipengaruhi terutama pada kolam dan dan tambak semi intensif. Pemakaian pupuk organik, terutama kotoran hewan (seperti kotoran ayam, kotoran sapi, kotoran kuda dan kotoran kerbau) berfungsi memberikan substrat untuk pertumbuhan populasi mikroba. Tetapi pada kolam dan tambak intensif dan super intensif, pemupukan tidak diperlukan dan tidak dianjurkan. Karena beban bahan organik yang berlebihan dan BOD yang meningkat akan terjadi pada kolam dan tambak intensif. Jika diperlukan selama persiapan kolam dan tambak, hal ini harus dibarengi dengan pupuk nitrogen (misalnya urea) dan aerasi yang terus-menerus pada waktu pembesaran (Kordi, 2007).
Pemberian tawas yang memiliki kadar berbeda ini bertujuan untuk menemukan dosis yang tepat dalam penjernihan air dengan sampel air baku saat itu. Namun, hubungan antara kekeruhan dan dosis bersifat tidak linier. Pencampuran dosis tawas yang berlebihan maka dapat menyebabkan air baku kembali keruh (Ayundyahrini, 2013).
Pengapuran dapat dilakukan pada dasar kolam atau tambak di saat persiapan dan pengapuran susulan selama pemeliharaan biota berlangsung. Pengapuran tanah dasar perlu dilakukan jika nilai pH tanah kurang dari 7. Pengapuran tanah dasar pada dasarnya berguna untuk menetralkan asam-asam organik akibat dekomposisi bahan organik yang tidak sempurna dalam sedimen yang tereduksi. Kapur juga meningkatkan dekomposisi bahan organik pada tanah-tanah yang bersifat asam (Kordi, 2007).
Menurut boyd (1992), dalam Kordi (2007), pH tanah antara 7,5-8,5 merupakan pH ideal untuk dekomposisi maksimum bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Sebaliknya pH yang tinggi akan menghambat proses dekomposisi. Tanah-tanah asam di pantai yang biasa disebut tanah gambut seringkali terakumulasi dengan ion-ion pyrit. Bila tambak diairi, maka pyrit akan teroksidasi dan menghasilkan asam sulfurik yang menyebabkan keasaman tanah menjadi sangat rendah. Untuk mengetahui, apakah tanah tambak mengandung asam sulfat atau tidak, dapat dilihat dari pecahnya tanah-tanah karena banyaknya jerosit berwarna kuning pucat. Biasanya tanah tersebut mengandung pH 4,0 atau kurang, yang dimana kandungan asamnya sangat luar biasa.

III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1              Waktu dan Tempat
Adapun Waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum pertama Manajemen Kualitas Air, yaitu tanggal 29-30 Maret, 2014 pada pukul 20.00-20.00 WITA, praktikum kedua, tanggal 5 Maret, 2014 pada pukul 09.00-19.00 WITA, dan pada praktikum ketiga, tanggal 13 Maret, 2014 pada pukul 10.00-13.00 di Laboratorium Produksi  Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari.
3.2              Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pengukuran parameter kualitas air dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Alat dan bahan praktikum pengukuran parameter kualitas air adalah sebagai berikut:
No
Alat dan Bahan
Fungsi
1.









2.

Alat
-          DO Meter
-          Ph Meter
-          Thermometer
-          Botol/Gelas Aqua
-          Corong
-          Erlenmeyer

-          Tabung Reaksi

-          Buret


-          Timbangan Analitik
-          Oven
-          Eksikator
-          Cawan
-          Ember
Bahan
-          Tisu
-          Aquades
-          Kertas saring
-          Air tawar
-          Hardness reagen
-          Kapur, Tawas, Urea
-          Tanah tambak

-       Mengukur DO
-       Mengukur pH
-       Mengukur suhu
-       Wadah sampel yang diamati
-       Wadah kertas saring
-       Mereaksikan larutan terutama untuk titrasi
-       Menampung sampel yang telah disaring
-       Mengukur volume tertentu biasanya digunakan pada saat titrasi zat untuk menentukan konsentrasi suatu larutan.
-       Menimbang cawan dan kertas saring
-       Memanaskan cawan
-       Mendinginkan cawan
-       Tempat hasil endapan saringan
-       Sebagai wadah praktikum

-       Membersihkan alat
-       Membilas alat yang telah digunakan
-       Alat penyaring
-       Sampel
-       Indikator pengubah warna sampel
-       Uji percobaan
-       Sampel

3.3    Prosedur Kerja
Prosedur  kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
3.3.1        Pengukuran suhu
Pengukuran suhu dapat dilakukan dengan menggunakan thermometer dimana thermometer dicelupkan ke dalam air lalu perhatikan air raksa yang ada pada thermometer tersebut naik sehingga batas dari air raksa itulah yang menjadi nilai suhu perairan tersebut. Setelah mencatatnya thermometer dibilas dengan aquades.
3.3.2        Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter, dimana sampel di ambil menggunakan gelas aqua dan diukur di laboratorium. pH meter dibilas menggunakan aquades sebelum digunakan. Stelah nilai pH didapatkan kemudian dibilas kembali dengan aquades.
3.3.3        Pengukuran Kecerahan
Pada pengukuran kecerahan menggunakan secchi disk. Celupkan alat secchi disk secara prlahan-lahan ke dalam air sampai batas tidak tampak, dan catat kedalamannya. Benamkan sedikit lebih dalam dan kemudian angkat sampai batas nampak kembali dan catat kedalamannya. Dalam melakukan pengukuran-pengukuran ini, pandanglah secchi disc tersebut secara tegak lurus dari atas. Nilai rata-rata dari kedua pembacaan kedalaman tersebut merupakan vasibilitas secchi disc dari perairan yang diamati.
3.3.4        Pengukuran kesadahan total
              Pengukuran kesadahan dilakukan dengan mangambil sampel menggunakan botol aqua dimana sebelum mengambil sampel botol tersebut dibilas dengan air sampel dan diisi sebanyak 600 ml. Sampel tersebut dikocok-kocok setelah itu menuangnya pada labu Erlenmeyer sebanyak 25 ml dan dilarutkan dengan aquades 25 ml sehingga menjadi 50 ml. Kemudian sampel tersebut di beri hardness reagen 1 dan 2 (DTA dan indikator) sehingga berubah warna.
3.3.5             Pengukuran oksigen terlarut
              Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi Sampel tersebut dikocok sampai terbentuk endapan berwarna coklat. Biarkan gumpalan mengendap selama 10 menit.
3.3.6        Pengukuran zat padat total
Zat padat total diukur dengan memasukkan sampel yang telah diendapkan ke dalam cawan pijarukuran 30 ml, kemudian dipanaskan di dalam tanur dengan suhu 105oC sampai kering. Sebelum sampel dimasukkan, cawan pijar dipanaskan terlebih dahulu pada 550oC, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kemudian hasilnya dihitung dengan rumus persaman 1 Halcrow.
3.3.7    Pengelolaan kualitas air
1.    Pemberian Urea, Tawas, Kapur dan Kombinasinya
            Terlebih dahulu siapkan 8 wadah yang masing-masing berisi air yang berbeda (air laut, air laut bypas, air destilasi, air sumur, air kolam depan Fakultas FPIK, air kolam depan Tugu UHO, air genangan hutan nipa, dan air tawar) + 2 liter dan catat pH nya, lalu sediakan 8 wadah berupa aqua gelas yang telah di beri label 1-8, kemudian isi ke delapan wadah  dengan salah satu air yang berbeda tersebut sebanyak 100 ml, beri perlakuan dengan ketentuan sebagai berikut: gelas 1, tambahkan 1 g urea; gelas 2, tambahkan 1 g tawas; gelas 3, 1 g kapur; gelas 4, tambahkan 1 g urea + 1 g tawas; gelas 5, tambahkan 1 g urea + 1 g kapur; gelas 6, tambahkan 1 g tawas + 1 g kapur; gelas 7, tambahkan 1 g urea + 1 g tawas + 1 g kapur; dan gelas 8, tambahkan 1 g urea + 2 g kapur + 1 g tawas.  Aduk kedelapan gelas itu secara perlahan hingga larut, kemudian ukur pH-nya dan catatlah, bandingkan dengan pH sebelumnya. Lakukan lagi pengukuran 1 jam kemudian, apabila tidak berubah pH-nya, ukur lagi 24 jam kemudian.
2.    Mengukur Kandungan Pyrite
            Siapkan 4 buah wadah baskom yang telah diberi label A,B,C dan D. Isi masing-masing dengan tanah dari perairan yang mengandung pyrite setebal 7,5 cm dan air sebanyak 5 liter. Lalu beri perlakuan dengan wadah A dan B tidak diberi penambahan apapun, C dan D diberi penambahan kapur sebanyak 48 g kapur/wadah, kemudian catat pH-nya. Setelah 1 jam catat kembali pH masing-masing wadah. Pada perlakuan selanjutnya, lakukan pergantian air dengan ketentuan  A dan C tidak dilakukan pergantian air,  B dan D pergantian air setiap 2 hari. Lakukan pergantian air sesuai dengan ketentuan hingga hari ke 12 (pergantian  air  sebanyak  6 kali).  Ukur kembali pH setelah pergantian air yang ke-6.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Adapun hasil fluktuasi dari pengukuran suhu, oksigen terlarut, kekeruhan, pH, kesadahan, TSS dan TDS, pemberian  tawas, kapur, urea serta pengukuran pyrite dapat dilihat pada grafik berikut.
1.    Suhu
Gambar 1. Grafik hasil pengukuran suhu pada kolam FPIK UHO.
2.    Derajat Keasaman (pH)
Gambar 2. Grafik hasil pengukuran pH pada kolam FPIK UHO.

3.    Kecerahan
Gambar 3. Grafik hasil pengukuran kecerahan pada kolam FPIK UHO.
4.    Oksigen Terlarut (DO)
Gambar 4. Grafik hasil pengukuran oksigen terlarut pada kolam FPIK UHO.
5.    Kesadahana
Kesadahan yang diperoleh pada saat pengamatan berlangsung adalah 39,9 pada pukul 09.00

6.    Zat padat total
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran TDS pada kolam  FPIK UHO.
7.    Pengukuran pH dari hasil penambahan tawas, urea dan kapur
Gambar 7. Grafik hasil pengukuran pH  dari penambahan tawas, urea dan kapur dilaboratorium FPIK UHO.
8.    Pengukuran pyrite
Gambar 8. Grafik hasil pengukuran pyrite yang telah diberi perlakuan dilaboratorium FPIK UHO.
4.2 Pembahasan
4.2.1. Suhu
Suhu adalah salah satu parameter yang menentukan banyak sedikitnya biota yang ada di laut. Hal ini telah diungkapkan oleh Affan (2017), bahwa Suhu merupakan salah satu parameter untuk  mempelajari transportasi dan penyebaran polutan yang masuk ke lingkungan laut.  
Dari grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fluktuasi suhu air kolam perikanan yaitu berkisar antara 290C - 330C. Dimana nilai suhu tertinggi terjadi di siang hari pada pukul 15.00 (wita) yaitu 33 0C dan dan nilai suhu terendah terjadi di malam hari pada pukul 05.00 (wita). Hal ini dipengaruhi oleh radiasi matahari karena pada siang hari, air pada bagian permukaan menjadi hangat dan  membentuk suatu  lapisan  yang  jelas.  Pada malam  harinya air pada bagian permukaan menjadi dingin pada temperatur yang sama dengan air yang ada di bawahnya, hal ini dikarenakan kedua lapisan tersebut bercampur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Idris (2013), yang menyatakan bahwa Pemisahan air kolam menjadi lapisan hangat dan dingin dengan perbedaan suhu yang cukup jelas antara kedua lapisan, disebut stratifikasi suhu (thermal stratification); lapisan air hangat pada bagian atas, disebut epilimnion dan lapisan dingin pada air bagian lebih bawahnya disebut hypolimnion. Di antara kedua lapisan ini terdapat pula suatu lapisan air yang disebut termoklin.  Lapisan termoklin ini ditandai dengan penurunan suhu yang sangat tajam. 
4.2.2. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan suatu pernyataan yang dapat menunjukkan kualitas perairan sebagai lingkungan hidup. Hal ini telah diungkapkan Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) dalam Irawan, et al.(2009), bahwa besaran pH berkisar antara 0 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral.
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa fluktuasi pH air kolam perikanan yaitu berkisar antara 7.62-8.08. Nilai pH 7 menunjukkan lungkungan yang netral, sedangkan nilai ph 8 menunjukkan lingkungan yang basa. Menurut Effendi (2003) dalam Gundo, et al. (2011) menyatakan bahwa apabila nilai ph kurang atau melebihi kisaran 7,4 sampai 8,5 maka dapat diindikasikan bahwa pada perairan tersebut telah terjadi pencemaran atau akibat tingginya aktifitas biologis. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa air kolam perikanan tela mengalami pencemaran, baik itu diakibatkan oleh manusia maupun tingginya aktifitas biologis.
Selain itu, hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa air kolam perikanan mempumyai  total alkalinitas yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Idris (2013) bahwa pada air yang mempunyai total alkalinitas yang lebih tinggi, dimana nilai-nilai pH biasanya berkisar dari 7,5 sampai 8., Endar (2008) juga mengatakan bahwa air yang agak basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral- mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan dan fitoplankton
4.2.3. Kecerahan
Kecerahan adalah kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan yang dapat memdukung terjadinya proses fotosintesis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gundo et. al, (2011), bahwa Kecerahan perairan laut terkait erat dengan sejauh mana penetrasi cahaya matahari dapat masuk keperairan yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis
Berdasarkan hasil pengamatan air kolam perikanan tentang pengukuran kecerahan diketahui bahwa cahaya matahari hamya mampu menembus perairan hingga kedalaman 55.33 cm. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa air kolam perikanan kurang baik untuk pertumbuhan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khan dan Satam (2003) dalam Gundo, at al (2011) bahwa kecerahan perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah lebih 1 meter. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena waktu dilakukannya pengukuran   dipengaruhi oleh tebalnya awan yang menyebabkan cahaya matahari sedikit sulit untuk menembus.


4.2.4 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen yang terlarut dalam suatu perairan dalam pengukuran tertentu. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat. Pada pengukuran DO terjadi fluktuasi yang signifikan dari setiap stasiun.
Berdasarkan  grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah oksigen terlarut tertinggi terjadi pada pukul 11.00 dengan jumlah 5,73 ppm sedangkan jumlah oksigen terlarut terendah terjadi pada pukul 02.00 dengan jumlah 1,7 ppm. Hal itu disebabkan karena konsentrasi oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian. hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), bahwa pada waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut relatif rendah daripada siang hari. Hal ini disebabkan karena pada malam hari tidak terjadi proses fotosintesis , sehingga organism menggunakan oksigen untuk pernafasannya. Hal inilah yang menyebabkan pada malam hari hingga menjelang fajar, konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan berkurang. Sebaliknya, pada siang hari konsentrasi oksigen terlarut semakin tinggi. Hal ini desebabkan oleh proses fotosintesis.
            Konsentrasi oksigen yang baik dalam budidaya perairan adalah antara 5-7 ppm. Hanya ikan-ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan yang mampu hidup pada perairan yang kandungan oksigennya rendah seperti lele, gurami, sepat, betook dan gabus. Rendahnya kadar oksigen dapat pula berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Oksigen terlarut dalam suatu perairan dapat mempengaruhi beberapa parameter lain salah satunya adalah suhu suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa distribusi suhu secara vertikal akan mempengaruhi distribusi mineral dalam air karena kemungkinan terjadi pembalikan lapisan air. Suhu air juga akan mempengaruhi kekentalan (viskositas ) air. Perubahan suhu yang drastis dapat mematikan biota air karena terjadi perubahan daya angkut darah. Suhu sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan konsumsi oksigen hewan air.
4.2.5 Kesadahan
Kesadahan merupakan sifat air yang mengandung ion-ion logam valensi dua dan ion penyebab utama kesadahan Ca dan Mg. Kesadahan berasal dari kontak terhadap tanah dan pembentukan batuan. Pada pengamatan diperoleh n ilai kesadahan 20dH yang menunjukkan bahwa tingkat kategori kesadahannya lunak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), bahwa jenis air hanya dibagi menjadi 4 kategori, yaitu lunak, agak keras, keras dan amat keras. Kesadahan tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya mineral dalam air yang berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan molekul. Kadar mineral tersebut dalam tanah sangat bervariasi, tergantung jenis tanahnya. Kandungan mineral inilah yang menentukan parameter keasaman dan kekerasan air.
Pada kondisi kesadahan lunak, kebanyakan hewan budidaya didalam air senang berada didalamya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), bahwa umumnya hewan air lebih mudah beradaptasi dari air yang sifatnya lunak.


4.2.6 Zat Padat Total
Zat padat  total adalah  semua zat-zat sisa yang tersisa sebagai rasidu suatu bejana. Pada pengamatan TDS pada kolam perikanan dioeroleh nilai 0,09 yang menunjukan bahwa perairan itu baik. Kadar TDS akan mempengaruhi total hardness atau kesadahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa kesadahan air disebabkan oleh banyaknya mineral dalam air yang berasal dari tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan mulekul.
4.2.7 Penambahan Tawas, Urea dan Kapur pada Air Tambak
Secara teoritis air tambak memiliki kapasitas penyanggah yang mungkin bisa saja baik, mungkin juga tidak, tergantung pada besar kecilnya nilai alkalinitasnya. Untuk sampel air yang diberi penambahan urea dan tawas, akan menurunkan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Idris (2014), yang menyatakan bahwa pada air yang memiliki nilai alkalinitas yang cukup tinggi, efek penambahan  tawas maupun urea, hanya berhenti pada merusak alakalinitas. Tetapi pada air yang alkalinitasnya kurang, penambahan urea dan tawas dapat   merusak daya buffer dari air tersebut sehingga akibat yang dapat segera dilihat adalah penurunan pH.
Sedangkan untuk air tambak yang diberi penambahan kapur mengalami peningkatan pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa kapur dapat digunakan untuk menaikkan pH. Pengapuran pada tanah dasar terutama berguna untuk menetralkan asam-asam organik akibat dekomposisi bahan organik yang tidak sempurna dalam sedimen yang tereduksi.   
Namun, pada perlakuan ke 2 dan 3 nilai pH sangat tinggi, yaitu mencapai 9,42  pada pukul 13.36 dan 9,74 pada pukul 14.36. hal ini menunjukkan bahwa alkalinitas air tambak tersebut sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa bila pH mencapai lebih dari 10 maka pergantian air harus dilakukan  karena idikator kemampuan buffer air yang rendah akibat alkalinitas rendah.
4.2.8 Pyrite
   Pada praktikum ini telah disediakan empat wadah sampel yang masing -masing dengan perlakuan yang berbeda. Dapat dilihat pada keterangan di atas. Pengukuran pH dilakukan 4 kali pengukuran, dalam12 hari,dimana sebelum perlakuan, setelah perlakuan, 1 jam kemudian, dan pengukuran ke 6 ( hari ke 12 ).
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah masam dengan tujuan untuk Menaikkan pH tanah. Nilai pH tanah dinaikkan sampai pada tingkat  tidak bersifat racun lagi dan unsur hara tersedia dalam kondisi yang seimbang di dalam tanah. Peningkatan pH tanah yang terjadi sebagai akibat dari pemberian kapur, tidak dapat bertahan lama, karena tanah mempunyai sistem penyangga, yang menyebabkan pH akan kembali ke nilai semula setelah beberapa waktu berselang.
Dari hasil yang diperoleh pada sampel A, pH tertinggi sebelum perlakuan (8,72) dan terendah pengukuran pada hari ke 12 (7,95), pada sampel C pH sebelum dan sesudah perlakuan (8,55) dan (8,56), pada sampel C berturut-turut (9,55) dan (8,56), sedangkan pada sampel D pH tertinggi sebelum perlakuan (9,32) dan pH terendah pada pengukuran hari ke 12 adalah (9,71)
Dari ke empat sampel perlakuan ini yang baik dan ideal dalam mengatasi pH pada tanah yang mengandung pirit yaitu sampel A (tidak adanya perlakuan  pencucian berulang, dimana pH yang diperoleh setelah perendaman selama 12 hari adalah  7,95. Karena dengan cara ini kita bisa mendapatkan pH yang sesuai untuk proses budidaya. Kita ketahui Kisaran  pH air tambak udang yang optimum adalah 7,5-8,5. Jadi proses perendaman tanah yang mengandung pyrite dapat menrunkan nilai pH. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan  Mboyd (1992), dalam Kordi (2007), bahwa pH tanah antara 7,5-8,5 merupakan pH ideal untuk dekomposisi maksimum bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Sebaliknya pH yang tinggi akan menghambat proses dekomposisi, Sedangakan pada sampel yang diperlakuan justru meningkatkan nilai pH , ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa kapur dapat digunakan untuk menaikkan pH.


























KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari pengamatan ini adalah
1.  Fluktuasi suhu air kolam perikanan yaitu berkisar antara 290C - 330C.
2. Sebagian besar parameter kualitas air yang diukur, pada stasiun 8 lebih mendukung dan lebih menunjang kehidupan organisme perairan. Hal ini dikarenakan, hasil pengukuran yang diperoleh menunjukkan nilai yang sesuai untuk kehidupan organisme budidaya.
3. Alkalinitas air tambak tersebut sangat rendah yaitu pada kisaran pH mencapai 9,42-9,74.
4. Dari kedua merode yang dilakukan pada empat sampel perlakuan, yang baik dan  ideal dalam mengatasi pH pada tanah yang mengandung pirit yaitu sampel A (tidak adanya perlakuan pencucian berulang)
B.       Saran
Saran yang dapat disampaikan pada praktikum ini adalah agar untuk memudahkan pengamatan di laboratorium, sebaiknya sampel yang diperoleh secepatnya diamati dan dianalisa. Hal ini agar sampel yang diperoleh belum mengalami kerusakan dan untuk memudahkan dalam pengamatannya. Agar praktek ini bisa berjalan dengan lancar dan terkendali.  Selain itu harus dilakukan secara hati-hati karena praktek ini harus dilakukan secara teliti agar dapat memperoleh hasil yang maksimal. 


DAFTAR PUSTAKA
Affan, J.M. 2012. Identifikasi Lokasi Untuk Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) Berdasarkan FaktorLingkungan Dan Kualitas Air di Perairan Pantai Timur Bangka Tengah. Jurnal Mahasiswa Budidaya Perairan. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Apridayanti, E.     2008. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lohor Kabupaten Malang Iawa Timur. Tesis. Semarang.
Budi, setyo, sudi. 2006. Penurunan fosfat dengan penambahan kapur (lime), Tawas dan filtrasi zeolit pada limbah cair. Studi Kasus Rs Bethesda Yogyakarta. Universitas Diponegoro. Semarang. 180 Hal.
Idris, M. Kasim, M. Ruslaini. 2013. Penuntun Praktikum Manajemen Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 15 hal.
Idris, Muhamnad. 2014. Diktat Kuliah Manajemen Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 105 hal.
Kordi, M.G.H. Tancung.A.B. 2007. Pengelolaan Kualitas Air. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Noor, 2004. Cara Menanggulangi Masalah Tanah Masam