I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan lingkungan perairan merupakan salah satu
usaha manusia untuk tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya perairan.
Sumberdaya perairan yang utama adalah air. Air sebagai habitat utama bagi
organisme akuatik. Air yang terdapat di laut, sungai, rawa, kali, kolam dan
danau bahkan sistem terkontrol seperti tambak pun memerlukan pengelolaan sesuai
dengan peruntukkannya. Pengelolaan ini bertujuan agar air yang ada sebagai
sumberdaya utama di lingkungan tersebut tetap terjaga kualitasnya dan dimanfaatkan
sesuai dengan fungsi masing-masing perairan tersebut. Kolam adalah salah satu
bagian dari lingkungan perairan yang terkontrol. Sistem pengontrolan ini
menyebabkan semua organisme yang bermanfaat selalu dijaga keberadaannya.
Pertumbuhan organisme yang merugikan dapat dicegah melalui penambahan zat kimia
ataupun pengontrolan kualitas air. Di dalam sistem kolam terjadi berbagai
proses-proses baik fisika, kimia, biologi dan ekologi (Pebriani, 2009).
Pengelolaan
kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas yang
diinginkan sesuai fungsi peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap
dalam kondisis alamiahnya. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas
dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini mata air, sungai,
rawa, danau, situ, waduk, dan muara (Vedca, 2009). Ketersediaan makanan dalam sebuah rantai
makanan menjadi sangat penting bagi kelompok yang ada di atasnya. Keberadaan
makanan dan terciptanya rantai makanan yang baik menjadi hal yang sangat vital.
Kondisi yang baik tersebut sangat dibutuhkan oleh organisme hidup didalamnya.
Kondisi lingkungan yang baik didukung oleh berbagai faktor seperti fisika-kimia
dan biologi air serta faktor-faktor eksternal yang sangat mempengaruhinya (Nana
dan Putra, 2011). Dalam melakukan
budidaya perlu diperhatikan kualitas air dapat menunjang kehidupan dari
organisme-organisme di perairan. Sehingga perlu untuk dilakukan pengukuran
parameter-parameter yang bersangkutan.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dilakukannya praktek manajemen kualitas air ini agar dapat
mengetahui fluktuasi pada perubahan suhu, kekeruhan, DO, serta pH
pada perairan.
Sehingga apa yang di inginkan dan di butuhkan pada kegiatan budidaya dapat
berjalan dengan baik serta mendapatkan hasil yang maksimal.
1.2
Tujuan dan Manfaat
1. Untuk
mengetahui perubahan suhu dan pH selama 24 jam.
2. Untuk
mengetahui Kecerahan, Kesadahan, DO, dan TDS pada kolam air tawar di FPIK UHO
3. Untuk
mengetahui kapasitas buffer dan pengaruh penambahan urea, tawas, kapur serta
kombinasinya terahadap perubahan nilai pH beberapa jenis air yang berbeda.
4. Untuk
mengetahui evektivitas metode pemberian kapur dan pencucian berulang serta
membandingkan kedua metode tersebut sebagai cara untuk mengatasi pH rendah pada
perairan yang mengandung pyrite.
Adapun
manfaat praktikum ini adalah kita dapat mengetahui tingkat kecerahan maupun
kesadahan serta perubahan parameter seperti Suhu, pH, DO dan TDS, juga dapat
melakukan pengelolaan kualitas air yang terdapat pada kolam air tawar di FPIK
UHO sehingga dapat kita aplikasikan pada skala budidaya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Suhu
Suhu sangat
mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan biota air, karena itu penyebaran
organisme baik di lautan maupun diperairan air tawar dibatasi oleh suhu
perairan tersebut. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan
kenaikan suhu, maka dapat menekan kehidupan hewan budidayabahkan menyebabkan
kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim (drastis). Suhu air dapat
mempengaruhi kehidupan biota air secara tidak langsung, yaitu melalui pengaruh
kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah daya larut
oksigen di dalam air, begitu pula sebaliknya. Kisaran suhu optimum bagi
kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28oC-32oC
(Kordi 2007).
2.2
pH
pH singkatan
dari puissance negatif de H, yaitu
logaritma dari kecepatan ion-ion H (hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan.
Derajat keasaman air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut
dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol per liter) pada suhu
tertentu atau dapat ditulis : pH= - log (H)+. Nilai pH pada setiap perairan
alami berkisar antara 4-9, walaupun demikian pada daerah hutan mangrove, pH
dapat mencapai nilai yang sangat rendah karena kandungan asam sulfat pada tanah
dasar tersebut tinggi. pH air dapat mempengaruhi tingkat kesuburan perairan
karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif,
malah akan membunuh hewan budidaya (Kordi, 2007).
2.3
Kecerahan
Kecerahan
adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air dan dinyatakan dalam %,
dari beberapa panjang gelombang di
daerah spektrm yang terlihat cahaya yang melelui lapisan sekitar 1 meter, jatuh
agak lurus pada permukaan air. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai
kedasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita
dapat mengetahui sampai di mana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi
dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang
paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampaui jernih
baik untuk kehidupan ikan dan udang budidaya (Kordi, 2007).
2.4
Kesadahan
Kesadahan atau
kekeruhan (hardness) air berada
dengan keasaman air, sekalipun keduanya erat kaitannya, namun keduanya dapat
dibedakan dengan mudah. Air asam biasanya menunjukkan reaksi lunak, sedangkan
air sadah biasanya keras. Oleh karena itu, kesadahan air biasa disebut
kekerasan air (hardness). Kesadahan
air disebabkan oleh banyaknya mineral dalam air yang berasal dari batuan dalam
tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan molekul. Elemen terbesar (major
elemen) yang terkandung dalam air adalah kalsium (Ca++), magnesium
(Mg++), natrium (Na+) dan kalium (K+) (Kordi,
2007).
2.5 DO
Oksigen terlarut
(Dissolved Oxygent=DO) mungkin merupakan variabel yang paling kritis dalam
budidaya ikan, oleh karena itu budidayawan ikan seharusnya akrab dengan
dinamika konsentrasi oksigen terlarut dalam kolam. Kelarutan oksigen terlarut
akan menurunkan atau bertambah kecil apabila tekanan atmosfir (tekanan
barometer) turun. Kelarutan oksigen dalam air juga bertambah kecil apabila
salinitas bertambah besar. Pada suhu-suhu antara 20 sampai 35oC, kelarutan
oksigen bertambah kecil kira-kira sekitar 0,008 mg/l untuk tiap kenaikan
salinitas sebesar 210 mg/l (Idris, 2014).
Konsentrasi
oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian. Pada waktu fajar,
konsenstrasi oksigen terlarut rendah dan semakin tinggi pada siang hari yang
disebabkan oleh fotosintesis, sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari
(Kordi, 2007).
2.6 TDS
Total Dissolved Solid atau TDS merupakan parameter dari jumlah material yang dilarutkan dalam
air. Material ini dapat mencakup
Karbonat, Bikarbonat, Klorida, Sulfat, Fosfat,
Nitrat, Kalsium, Magnesium, Natrium, ion-ion organik, dll. TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena mewakili jumlah
ion di dalam air.
Ada dua macam
metode yang digunakan untuk mengukur TDS, yaitu :
1. Gravimetri
Metode pengukuran TDS yang
paling akurat dibandingkan dengan metoda konduktivitas listrik dan melibatkan
penguapan cairan pelarut untuk meninggalkan residu yang kemudian dapat
ditimbang langsung dengan menggunakan neraca digital. Untuk menentukan TDS yang terkandung di dalam
air, Halcrow (1999) menggunakan Persamaan 1
TDS= (B - A) 1000
V
dengan TDS (Total Dissolved Solid) merupakan jumlah total
zat terlarut dengan satuan mg/L, V
adalah volume sampel dengan satuan mL, A
adalah massa awal kertas saring dengan satuan mg, dan B adalah massa
akhir dari kertas saring dengan satuan mg.
2. Konduktivitas Listrik
Konduktivitas listrik air
secara langsung berhubungan dengan konsentrasi padatan terlarut yang
terionisasi dalam air. Ion dari konsentrasi padatan terlarut dalam air
menciptakan kemampuan pada air untuk menghasilkan arus listrik, yang dapat
diukur dengan menggunakan konduktivitimeter konvensional atau TDS meter
(Yuliandini, 2013).
2.7
Pegelolaan Kualitas Air
Lingkungan
yang bersih merupakan bagian dari pelengkap kenyamanan
hidup dan menjaganya merupakan hal yang sangat
penting untuk dilakukan. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu
kebersihan sumber daya air. Sejauh ini
sebagian besar perairan terkontaminasi limbah
seiring dengan perkembangan industri, perkembangan kota, dan aktifitas manusia.
Jika hal ini terus terjadi maka besar
kemungkinan pengendapan dan kekeruhan perairan
meningkat dan menurunkan kualitasnya. Banyak faktor yang mempengaruhi kekeruhan
air, seperti pembuangan hasil aktifitas
masyarakat. Selain itu, perbedaan musim antara
kemarau dan penghujan juga dapat menyebabkan tingkat kekeruhan air yang berbeda
(Ayundyahrini, 2013).
Dalam hal pengelolaan kualitas air
pemberian pupuk (Urea), tawas serta pengapuran dapat memberi nilai positif pada
kualitas air tersebut. Pemupukan saat persiapan kolam atau tambak diperlukan
sebagai sumber nutrien untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton. Hal ini
sangat dipengaruhi terutama pada kolam dan dan tambak semi intensif. Pemakaian
pupuk organik, terutama kotoran hewan (seperti kotoran ayam, kotoran sapi,
kotoran kuda dan kotoran kerbau) berfungsi memberikan substrat untuk
pertumbuhan populasi mikroba. Tetapi pada kolam dan tambak intensif dan super intensif,
pemupukan tidak diperlukan dan tidak dianjurkan. Karena beban bahan organik
yang berlebihan dan BOD yang meningkat akan terjadi pada kolam dan tambak
intensif. Jika diperlukan selama persiapan kolam dan tambak, hal ini harus
dibarengi dengan pupuk nitrogen (misalnya urea) dan aerasi yang terus-menerus
pada waktu pembesaran (Kordi, 2007).
Pemberian tawas yang memiliki kadar
berbeda ini bertujuan untuk menemukan dosis yang tepat dalam penjernihan air
dengan sampel air baku saat itu. Namun, hubungan antara kekeruhan dan dosis
bersifat tidak linier. Pencampuran dosis tawas yang berlebihan maka dapat
menyebabkan air baku kembali keruh (Ayundyahrini,
2013).
Pengapuran dapat dilakukan pada dasar
kolam atau tambak di saat persiapan dan pengapuran susulan selama pemeliharaan
biota berlangsung. Pengapuran tanah dasar perlu dilakukan jika nilai pH tanah
kurang dari 7. Pengapuran tanah dasar pada dasarnya berguna untuk menetralkan
asam-asam organik akibat dekomposisi bahan organik yang tidak sempurna dalam
sedimen yang tereduksi. Kapur juga meningkatkan dekomposisi bahan organik pada
tanah-tanah yang bersifat asam (Kordi, 2007).
Menurut boyd (1992), dalam Kordi (2007),
pH tanah antara 7,5-8,5 merupakan pH ideal untuk dekomposisi maksimum bahan
organik oleh mikroorganisme tanah. Sebaliknya pH yang tinggi akan menghambat
proses dekomposisi. Tanah-tanah asam di pantai yang biasa disebut tanah gambut
seringkali terakumulasi dengan ion-ion pyrit. Bila tambak diairi, maka pyrit
akan teroksidasi dan menghasilkan asam sulfurik yang menyebabkan keasaman tanah
menjadi sangat rendah. Untuk mengetahui, apakah tanah tambak mengandung asam
sulfat atau tidak, dapat dilihat dari pecahnya tanah-tanah karena banyaknya
jerosit berwarna kuning pucat. Biasanya tanah tersebut mengandung pH 4,0 atau
kurang, yang dimana kandungan asamnya sangat luar biasa.
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
Waktu
dan Tempat
Adapun Waktu dan tempat
dilaksanakannya praktikum pertama Manajemen Kualitas Air, yaitu tanggal 29-30
Maret, 2014 pada pukul 20.00-20.00 WITA, praktikum kedua, tanggal 5 Maret, 2014
pada pukul 09.00-19.00 WITA, dan pada praktikum ketiga, tanggal 13 Maret, 2014
pada pukul 10.00-13.00 di Laboratorium Produksi
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari.
3.2
Alat
dan Bahan
Adapun alat dan
bahan yang digunakan pada praktikum pengukuran parameter kualitas air
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Alat dan bahan praktikum pengukuran parameter kualitas
air adalah sebagai berikut:
No
|
Alat dan Bahan
|
Fungsi
|
1.
2.
|
Alat
-
DO Meter
-
Ph Meter
-
Thermometer
-
Botol/Gelas Aqua
-
Corong
-
Erlenmeyer
-
Tabung Reaksi
-
Buret
-
Timbangan Analitik
-
Oven
-
Eksikator
-
Cawan
-
Ember
Bahan
-
Tisu
-
Aquades
-
Kertas saring
-
Air tawar
-
Hardness reagen
-
Kapur, Tawas, Urea
-
Tanah tambak
|
-
Mengukur DO
-
Mengukur pH
-
Mengukur suhu
-
Wadah sampel yang diamati
-
Wadah kertas saring
-
Mereaksikan larutan terutama untuk titrasi
-
Menampung sampel yang telah disaring
-
Mengukur volume tertentu biasanya digunakan pada saat titrasi zat
untuk menentukan konsentrasi suatu larutan.
- Menimbang
cawan dan kertas saring
- Memanaskan
cawan
- Mendinginkan
cawan
- Tempat
hasil endapan saringan
- Sebagai
wadah praktikum
- Membersihkan
alat
- Membilas
alat yang telah digunakan
- Alat
penyaring
- Sampel
- Indikator
pengubah warna sampel
- Uji
percobaan
- Sampel
|
3.3
Prosedur
Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini
adalah sebagai berikut:
3.3.1
Pengukuran
suhu
Pengukuran
suhu dapat dilakukan dengan menggunakan thermometer dimana thermometer
dicelupkan ke dalam air lalu perhatikan air raksa yang ada pada thermometer
tersebut naik sehingga batas dari air raksa itulah yang menjadi nilai suhu
perairan tersebut. Setelah mencatatnya thermometer dibilas dengan aquades.
3.3.2
Pengukuran
pH
Pengukuran
pH dilakukan dengan menggunakan pH meter, dimana sampel di ambil menggunakan
gelas aqua dan diukur di laboratorium. pH meter dibilas menggunakan aquades
sebelum digunakan. Stelah nilai pH didapatkan kemudian dibilas kembali dengan
aquades.
3.3.3
Pengukuran Kecerahan
Pada pengukuran kecerahan
menggunakan secchi disk. Celupkan alat secchi disk secara prlahan-lahan ke
dalam air sampai batas tidak tampak, dan catat kedalamannya. Benamkan sedikit
lebih dalam dan kemudian angkat sampai batas nampak kembali dan catat
kedalamannya. Dalam melakukan pengukuran-pengukuran ini, pandanglah secchi disc
tersebut secara tegak lurus dari atas. Nilai rata-rata dari kedua pembacaan
kedalaman tersebut merupakan vasibilitas secchi disc dari perairan yang
diamati.
3.3.4
Pengukuran
kesadahan total
Pengukuran
kesadahan dilakukan dengan mangambil sampel menggunakan botol aqua dimana
sebelum mengambil sampel botol tersebut dibilas dengan air sampel dan diisi
sebanyak 600 ml. Sampel tersebut dikocok-kocok setelah itu menuangnya pada labu
Erlenmeyer sebanyak 25 ml dan dilarutkan dengan aquades 25 ml sehingga menjadi
50 ml. Kemudian sampel
tersebut di beri hardness reagen 1 dan 2 (DTA dan indikator) sehingga berubah
warna.
3.3.5
Pengukuran
oksigen terlarut
Pengukuran
oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi Sampel tersebut
dikocok sampai terbentuk endapan berwarna coklat. Biarkan gumpalan mengendap
selama 10 menit.
3.3.6
Pengukuran
zat padat total
Zat
padat total diukur dengan memasukkan sampel yang telah diendapkan ke dalam
cawan pijarukuran 30 ml, kemudian dipanaskan di dalam tanur dengan suhu 105oC
sampai kering. Sebelum sampel dimasukkan, cawan pijar dipanaskan terlebih
dahulu pada 550oC, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
Kemudian hasilnya dihitung dengan rumus persaman 1 Halcrow.
3.3.7
Pengelolaan
kualitas air
1. Pemberian
Urea, Tawas, Kapur dan Kombinasinya
Terlebih dahulu siapkan
8 wadah yang masing-masing berisi air yang berbeda (air laut, air laut bypas,
air destilasi, air sumur, air kolam depan Fakultas FPIK, air kolam depan Tugu
UHO, air genangan hutan nipa, dan air tawar) + 2 liter dan catat pH nya,
lalu sediakan 8 wadah berupa aqua gelas yang telah di beri label 1-8, kemudian
isi ke delapan wadah dengan salah satu
air yang berbeda tersebut sebanyak 100 ml, beri perlakuan dengan ketentuan
sebagai berikut: gelas 1, tambahkan 1 g urea; gelas 2, tambahkan 1 g tawas;
gelas 3, 1 g kapur; gelas 4, tambahkan 1 g urea + 1 g tawas; gelas 5, tambahkan
1 g urea + 1 g kapur; gelas 6, tambahkan 1 g tawas + 1 g kapur; gelas 7,
tambahkan 1 g urea + 1 g tawas + 1 g kapur; dan gelas 8, tambahkan 1 g urea + 2
g kapur + 1 g tawas. Aduk kedelapan
gelas itu secara perlahan hingga larut, kemudian ukur pH-nya dan catatlah,
bandingkan dengan pH sebelumnya. Lakukan lagi pengukuran 1 jam kemudian,
apabila tidak berubah pH-nya, ukur lagi 24 jam kemudian.
2. Mengukur
Kandungan Pyrite
Siapkan 4 buah wadah
baskom yang telah diberi label A,B,C dan D. Isi masing-masing dengan tanah dari
perairan yang mengandung pyrite setebal 7,5 cm dan air sebanyak 5 liter. Lalu
beri perlakuan dengan wadah A dan B tidak diberi penambahan apapun, C dan D
diberi penambahan kapur sebanyak 48 g kapur/wadah, kemudian catat pH-nya.
Setelah 1 jam catat kembali pH masing-masing wadah. Pada perlakuan selanjutnya,
lakukan pergantian air dengan ketentuan A
dan C tidak dilakukan pergantian air, B
dan D pergantian air setiap 2 hari. Lakukan pergantian air sesuai dengan
ketentuan hingga hari ke 12 (pergantian air sebanyak 6
kali). Ukur kembali pH setelah
pergantian air yang ke-6.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan
Adapun
hasil fluktuasi dari pengukuran suhu, oksigen terlarut, kekeruhan, pH,
kesadahan, TSS dan TDS, pemberian tawas, kapur, urea serta pengukuran pyrite
dapat dilihat pada grafik berikut.
1. Suhu
Gambar 1. Grafik
hasil pengukuran suhu pada kolam FPIK
UHO.
2. Derajat
Keasaman (pH)
Gambar 2. Grafik hasil
pengukuran pH pada
kolam FPIK UHO.
3. Kecerahan
Gambar
3. Grafik hasil pengukuran
kecerahan pada kolam FPIK UHO.
4. Oksigen
Terlarut (DO)
Gambar
4. Grafik hasil
pengukuran oksigen terlarut pada
kolam FPIK UHO.
5. Kesadahana
Kesadahan
yang diperoleh pada saat pengamatan berlangsung adalah 39,9 pada pukul 09.00
6. Zat
padat total
Gambar 6. Grafik hasil
pengukuran TDS pada
kolam FPIK UHO.
7. Pengukuran
pH dari hasil penambahan tawas, urea dan kapur
Gambar
7. Grafik hasil
pengukuran pH dari penambahan tawas, urea dan kapur
dilaboratorium FPIK UHO.
8. Pengukuran
pyrite
Gambar 8. Grafik hasil
pengukuran pyrite yang telah diberi
perlakuan dilaboratorium FPIK UHO.
4.2
Pembahasan
4.2.1.
Suhu
Suhu adalah salah satu
parameter yang menentukan banyak sedikitnya biota yang ada di laut. Hal ini
telah diungkapkan oleh Affan (2017), bahwa Suhu merupakan salah satu parameter
untuk
mempelajari transportasi dan penyebaran polutan
yang
masuk ke lingkungan laut.
Dari grafik diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa fluktuasi suhu air kolam perikanan yaitu berkisar
antara 290C - 330C.
Dimana nilai suhu tertinggi terjadi di siang hari pada pukul 15.00
(wita) yaitu 33 0C dan dan nilai suhu terendah terjadi di malam hari
pada pukul 05.00 (wita). Hal ini dipengaruhi oleh radiasi matahari karena pada siang hari, air pada bagian permukaan menjadi hangat
dan membentuk suatu lapisan yang jelas.
Pada malam harinya air pada
bagian permukaan menjadi dingin pada temperatur yang sama dengan air yang ada
di bawahnya, hal ini dikarenakan kedua lapisan tersebut bercampur. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Idris (2013), yang
menyatakan bahwa Pemisahan
air kolam menjadi lapisan hangat dan dingin dengan perbedaan suhu yang cukup
jelas antara kedua lapisan, disebut stratifikasi suhu (thermal stratification);
lapisan air hangat pada bagian atas, disebut epilimnion dan lapisan dingin pada
air bagian lebih bawahnya disebut hypolimnion. Di antara kedua lapisan ini terdapat pula suatu lapisan
air yang disebut termoklin. Lapisan
termoklin ini ditandai dengan penurunan suhu yang sangat tajam.
4.2.2. Derajat
Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH)
merupakan suatu pernyataan yang dapat menunjukkan kualitas perairan
sebagai lingkungan hidup.
Hal ini telah diungkapkan Hardjojo dan Djokosetiyanto
(2005) dalam Irawan, et al.(2009), bahwa besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral.
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa fluktuasi pH air kolam
perikanan yaitu berkisar antara 7.62-8.08. Nilai pH 7 menunjukkan lungkungan
yang netral, sedangkan nilai ph 8 menunjukkan lingkungan yang basa. Menurut
Effendi (2003) dalam Gundo, et al. (2011) menyatakan bahwa apabila
nilai ph kurang atau melebihi kisaran 7,4 sampai 8,5 maka dapat diindikasikan
bahwa pada perairan tersebut telah terjadi pencemaran atau akibat tingginya
aktifitas biologis. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa air
kolam perikanan tela mengalami pencemaran, baik itu diakibatkan oleh manusia
maupun tingginya aktifitas biologis.
Selain itu, hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa air kolam
perikanan mempumyai total alkalinitas yang
tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Idris (2013) bahwa pada air yang mempunyai total alkalinitas yang lebih
tinggi, dimana nilai-nilai pH biasanya berkisar dari 7,5 sampai 8., Endar (2008) juga mengatakan bahwa air yang agak
basa dapat mendorong
proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam
air menjadi mineral- mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan dan fitoplankton
4.2.3. Kecerahan
Kecerahan adalah kemampuan
cahaya matahari untuk menembus perairan yang dapat memdukung terjadinya proses
fotosintesis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gundo et.
al, (2011), bahwa Kecerahan perairan laut terkait erat dengan sejauh mana
penetrasi cahaya matahari dapat masuk keperairan yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis
Berdasarkan hasil pengamatan
air kolam perikanan tentang pengukuran kecerahan diketahui bahwa cahaya
matahari hamya mampu menembus perairan hingga kedalaman 55.33 cm. Berdasarkan
hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa air kolam perikanan kurang baik untuk
pertumbuhan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khan dan Satam (2003)
dalam Gundo, at al (2011) bahwa kecerahan perairan yang baik untuk budidaya
rumput laut adalah lebih 1 meter. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena
waktu dilakukannya pengukuran dipengaruhi oleh tebalnya
awan yang menyebabkan cahaya matahari sedikit sulit untuk menembus.
4.2.4
Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan
jumlah oksigen yang terlarut dalam suatu perairan dalam pengukuran tertentu.
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di
dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota
akan terhambat. Pada pengukuran DO terjadi fluktuasi yang signifikan dari
setiap stasiun.
Berdasarkan
grafik diatas dapat
diketahui bahwa jumlah oksigen terlarut tertinggi terjadi pada pukul 11.00
dengan jumlah 5,73 ppm sedangkan jumlah oksigen terlarut terendah terjadi pada
pukul 02.00 dengan jumlah 1,7 ppm. Hal itu disebabkan karena konsentrasi
oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian. hal ini sesuai dengan
pernyataan Kordi dan Tancung (2005), bahwa pada
waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut relatif rendah daripada siang hari.
Hal ini disebabkan karena pada malam hari tidak terjadi proses fotosintesis ,
sehingga organism menggunakan oksigen untuk pernafasannya. Hal inilah yang
menyebabkan pada malam hari hingga menjelang fajar, konsentrasi oksigen
terlarut dalam perairan berkurang. Sebaliknya, pada siang hari konsentrasi
oksigen terlarut semakin tinggi. Hal ini desebabkan oleh proses fotosintesis.
Konsentrasi oksigen yang baik dalam
budidaya perairan adalah antara 5-7 ppm. Hanya ikan-ikan yang memiliki alat
pernafasan tambahan yang mampu hidup pada perairan yang kandungan oksigennya
rendah seperti lele, gurami, sepat, betook dan gabus. Rendahnya kadar oksigen
dapat pula berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan,
bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Oksigen
terlarut dalam suatu perairan dapat mempengaruhi beberapa parameter lain salah
satunya adalah suhu suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung
(2005), yang menyatakan bahwa distribusi suhu secara vertikal akan mempengaruhi
distribusi mineral dalam air karena kemungkinan terjadi pembalikan lapisan air.
Suhu air juga akan mempengaruhi kekentalan (viskositas ) air. Perubahan suhu
yang drastis dapat mematikan biota air karena terjadi perubahan daya angkut
darah. Suhu sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air
dan konsumsi oksigen hewan air.
4.2.5
Kesadahan
Kesadahan merupakan sifat air
yang mengandung ion-ion logam valensi dua dan ion penyebab utama kesadahan Ca
dan Mg. Kesadahan berasal dari kontak terhadap tanah dan pembentukan batuan.
Pada pengamatan diperoleh n ilai
kesadahan 20dH yang menunjukkan bahwa tingkat kategori kesadahannya
lunak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi
dan Tancung (2005), bahwa
jenis air hanya dibagi menjadi 4 kategori, yaitu lunak, agak keras, keras dan
amat keras. Kesadahan tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya mineral dalam
air yang berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan
molekul. Kadar mineral tersebut dalam tanah sangat bervariasi, tergantung jenis
tanahnya. Kandungan mineral inilah yang menentukan parameter keasaman dan
kekerasan air.
Pada kondisi kesadahan lunak, kebanyakan hewan budidaya didalam air
senang berada didalamya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi
dan Tancung (2005), bahwa
umumnya hewan air lebih mudah beradaptasi dari air yang sifatnya lunak.
4.2.6
Zat Padat Total
Zat
padat total adalah semua zat-zat sisa yang tersisa sebagai rasidu
suatu bejana. Pada pengamatan TDS pada kolam perikanan dioeroleh nilai 0,09
yang menunjukan bahwa perairan itu baik. Kadar TDS akan mempengaruhi total
hardness atau kesadahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung
(2005), yang menyatakan bahwa kesadahan air disebabkan oleh banyaknya mineral
dalam air yang berasal dari tanah, baik dalam bentuk ion maupun ikatan mulekul.
4.2.7
Penambahan Tawas, Urea dan Kapur pada Air Tambak
Secara teoritis air
tambak memiliki kapasitas penyanggah yang mungkin bisa saja baik, mungkin juga
tidak, tergantung pada besar kecilnya nilai alkalinitasnya. Untuk sampel air
yang diberi penambahan urea dan tawas, akan menurunkan nilai pH. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Idris (2014), yang menyatakan bahwa pada air yang memiliki
nilai alkalinitas yang cukup tinggi, efek penambahan tawas maupun urea, hanya berhenti pada
merusak alakalinitas. Tetapi pada air yang alkalinitasnya kurang, penambahan
urea dan tawas dapat merusak daya
buffer dari air tersebut sehingga akibat yang dapat segera dilihat adalah
penurunan pH.
Sedangkan untuk air
tambak yang diberi penambahan kapur mengalami peningkatan pH. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa kapur dapat
digunakan untuk menaikkan pH. Pengapuran pada tanah dasar terutama berguna
untuk menetralkan asam-asam organik akibat dekomposisi bahan organik yang tidak
sempurna dalam sedimen yang tereduksi.
Namun, pada perlakuan
ke 2 dan 3 nilai pH sangat tinggi, yaitu mencapai 9,42 pada pukul 13.36 dan 9,74 pada pukul 14.36.
hal ini menunjukkan bahwa alkalinitas air tambak tersebut sangat rendah. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa
bila pH mencapai lebih dari 10 maka pergantian air harus dilakukan karena idikator kemampuan buffer air yang rendah akibat
alkalinitas rendah.
4.2.8
Pyrite
Pada praktikum ini telah disediakan
empat wadah sampel yang masing -masing dengan perlakuan yang berbeda. Dapat
dilihat pada keterangan di atas. Pengukuran pH dilakukan 4 kali pengukuran,
dalam12 hari,dimana sebelum perlakuan, setelah perlakuan, 1 jam kemudian, dan
pengukuran ke 6 ( hari ke 12 ).
Pengapuran merupakan upaya pemberian
bahan kapur ke dalam tanah masam dengan tujuan untuk Menaikkan pH tanah. Nilai
pH tanah dinaikkan sampai pada tingkat tidak
bersifat racun lagi dan unsur hara tersedia dalam kondisi yang seimbang di
dalam tanah. Peningkatan pH tanah yang terjadi sebagai akibat dari pemberian
kapur, tidak dapat bertahan lama, karena tanah mempunyai sistem penyangga, yang
menyebabkan pH akan kembali ke nilai semula setelah beberapa waktu berselang.
Dari
hasil yang diperoleh pada sampel A, pH tertinggi sebelum perlakuan (8,72) dan terendah pengukuran pada hari ke 12 (7,95), pada sampel C pH sebelum dan sesudah
perlakuan (8,55) dan (8,56), pada sampel C berturut-turut (9,55) dan (8,56),
sedangkan pada sampel D pH
tertinggi sebelum perlakuan (9,32) dan pH terendah pada pengukuran hari ke 12 adalah (9,71)
Dari
ke empat sampel perlakuan ini yang baik dan ideal dalam mengatasi pH pada tanah
yang mengandung pirit yaitu sampel A
(tidak adanya
perlakuan pencucian berulang, dimana pH yang diperoleh setelah perendaman selama 12
hari adalah 7,95.
Karena dengan cara ini kita bisa mendapatkan pH yang sesuai untuk proses
budidaya. Kita ketahui Kisaran pH air tambak udang yang optimum adalah
7,5-8,5.
Jadi proses perendaman tanah yang mengandung pyrite dapat menrunkan nilai pH. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Mboyd
(1992), dalam Kordi (2007), bahwa
pH tanah antara 7,5-8,5 merupakan pH ideal untuk dekomposisi maksimum bahan
organik oleh mikroorganisme tanah. Sebaliknya pH yang tinggi akan menghambat
proses dekomposisi, Sedangakan pada sampel yang
diperlakuan justru meningkatkan nilai pH , ini sesuai dengan pernyataan Kordi
dan Tancung (2005), yang menyatakan bahwa kapur dapat digunakan untuk menaikkan
pH.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Simpulan yang
dapat ditarik dari pengamatan ini adalah
1. Fluktuasi suhu air kolam
perikanan yaitu berkisar antara 290C
- 330C.
2. Sebagian besar parameter kualitas air yang
diukur, pada stasiun 8 lebih mendukung dan lebih menunjang kehidupan organisme
perairan. Hal ini dikarenakan, hasil pengukuran yang diperoleh menunjukkan
nilai yang sesuai untuk kehidupan organisme budidaya.
3. Alkalinitas air tambak
tersebut sangat rendah yaitu pada kisaran pH mencapai
9,42-9,74.
4. Dari kedua merode yang dilakukan pada empat sampel perlakuan, yang
baik dan ideal
dalam mengatasi pH pada tanah yang mengandung pirit yaitu sampel A (tidak adanya perlakuan pencucian berulang)
B.
Saran
Saran yang dapat disampaikan pada praktikum ini adalah
agar untuk memudahkan pengamatan di laboratorium,
sebaiknya sampel yang diperoleh secepatnya diamati dan dianalisa. Hal ini agar
sampel yang diperoleh belum mengalami
kerusakan dan untuk memudahkan dalam pengamatannya. Agar praktek ini bisa
berjalan dengan lancar dan terkendali.
Selain itu harus dilakukan secara hati-hati karena praktek ini harus
dilakukan secara teliti agar dapat memperoleh hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Affan, J.M. 2012. Identifikasi
Lokasi Untuk Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) Berdasarkan
FaktorLingkungan Dan Kualitas Air di Perairan Pantai Timur Bangka Tengah.
Jurnal Mahasiswa Budidaya Perairan. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Apridayanti,
E. 2008. Evaluasi
Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lohor Kabupaten Malang Iawa Timur.
Tesis. Semarang.
Budi,
setyo, sudi. 2006. Penurunan fosfat
dengan penambahan kapur (lime), Tawas dan filtrasi zeolit pada limbah cair. Studi
Kasus Rs Bethesda Yogyakarta. Universitas Diponegoro. Semarang. 180 Hal.
Idris,
M. Kasim, M. Ruslaini. 2013. Penuntun Praktikum Manajemen Kualitas Air.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 15 hal.
Idris,
Muhamnad. 2014. Diktat Kuliah Manajemen Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 105 hal.
Kordi,
M.G.H. Tancung.A.B. 2007. Pengelolaan Kualitas Air. PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Noor,
2004. Cara Menanggulangi Masalah Tanah Masam